Selasa, 28 Februari 2017

Cerita Hantu Wanita memesan Bakso

CeritaMisteri - Cerita Hantu Wanita Memesan Bakso -  ini diangkat dari kisah nyata kejadian yang dialami Supeno, salah seorang pedagang bakso keliling di Jakarta Timur. Cerita Hantu memang cukup mengasyikkan, terlepas dari percaya atau tidak, cerita hantu memang ada di masyarakat. Peristiwa ini terjadi lima tahun yang lalu, pas Malam Jum’at Kliwon saat Supeno sedang berkeliling di sebuah perkampungan menjajakan bakso. Berikut ini adalah Cerita Hantu Wanita Memesan Bakso.

Cerita Hantu Wanita memesan Bakso

Dalam Cerita Hantu Wanita memesan Bakso


Malam itu, lima tahun yang lalu, tidak seperti biasanya jalanan di perkampungan tempat saya biasa menjajakan bakso terasa sepi. Sampai jam 9 malam baru 10 mangkok bakso yang saya jual. “sepi banget ya malam ini”, kata saya dalam hati sambil berjalan mendorong gerobak bakso dan memukul-mukul kentongan untuk memberi tanda bahwa tukang bakso sedang jualan bakso.

Tepat di sebuah pertigaan jalan saya sempat bimbang, mau belok ke kiri apa ke kanan. Dua-duanya terlihat sepi. Akhirnya saya putuskan ambil jalan kanan. Baru melewati dua rumah, ada seorang wanita bergaun putih keluar dari pagar rumah memanggil saya “bang, baksonya satu ya”. “ya bu”, jawab saya dan saya lihat wanita itu kembali masuk pagar. Sayapun langsung menyiapkan satu porsi bakso yang dipesan.

Setelah usai saya menyiapkan satu mangkok bakso pesanan wanita itu, sayapun mengantarnya ke rumah tempat wanita itu. Sampai di depan pagar saya sempat heran “kok pintu pagarnya ditutup ya, diselot lagi, padahal ibu tadi perasaan tidak membuka dan tidak menutup pagar”, kata saya dalam hati. Saya menepis keheranan saya itu, saya buka bagar. Walaupun diselot tapi tidak dikunci. Saya langung masuk menuju pintu. Pintunya tertutup.

Sesampai di depan pintu, perlahan saya ketok “tok tok tok, permisi, ini baksonya bu”, kata saya kepada wanita tadi yang saya yakini adalah penghuni rumah ini. Tidak ada jawaban dari dalam rumah, saya ketok lagi “tok tok tok, permisi, ini baksonya bu”, kata saya lagi agak keras. Akhirnya terdengar langkah kaki dari dalam rumah dan pintupun dibuka. Yang membuka adalah seorang wanita muda dan bertanya “ada apa mas?”. “ini mbak, tadi ada ibu-ibu di rumah ini pesan bakso sama saya” jawab saya kepada wanita muda itu. “Ibu-ibu?, di rumah ini tidak ada ibu-ibu mas, saya di sini cuma tinggal bertiga dengan suami dan anak saya mas”, kata wanita muda itu. “ya tadi sih masuk ke sini mbak”, kata saya.

Tiba-tiba seorang lelaki muda yang tentunya suami wanita muda ini keluar dari dalam rumah dan bertanya “ada apa sih malam-malam kok ribut”. “ini abang tukang bakso ini mengantarkan bakso, katanya ada ibu-ibu di rumah ini pesan bakso. Padahal kan di rumah ini cuma kita bertiga”, jawab wanita muda itu. “gitu aja kok ribut, ya sudah, sini baksonya, biar saya yang makan, tapi bikinkan satu lagi ya buat istri saya”, kata lelaki muda itu. Sayapun bergegas menyerahkan semangkok bakso kepadanya dan bergegas menyiapkan semangkok bakso lagi.

Setelah selesai menyiapkan, saya antar bakso ke rumah tersebut. “ini mbak baksonya”, kata saya sambil menyerahkan semangkok bakso kepada wanita itu. “duduk sini dulu mas”, kata lelaki muda itu sambil mempersilakan saya duduk di kursi yang ada di teras rumah itu. “ya mas, makasih”, kata saya. Dia makan di teras, sementara istrinya masuk membawa bakso, tak lama kemudian istrinya menyerahkan mangkok yang sudah kosong kepada saya, mungkin langsung dipindah ke mangkoknya sendiri.

“emang bener tadi ada ibu-ibu pesan bakso, jangan-jangan kamu cuma ngarang aja biar baksomu laku”, kata lelaki itu berkelekar sambil tersenyum kepada saya. “untuk apa saya bohong mas, saya kan tiap hari jualan di sini, memang benar kok tadi ada ibu-ibu yang pesan”, jawab saya.
“ciri-cirinya bagaimana?” tanya lelaki muda itu. “ya ibu-ibu tidak terlalu tua sih, pakai baju panjang warna putih, rambutnya agak panjang”, jawab saya.

“lalu dari mana asalnya dan kemana?”, tanya lelaki muda itu lagi. “tadi keluar dari rumah ini dan masuk lagi ke rumah ini mas, tapi yang saya heran, saya tidak mendengar dia membuka pintu pagar dan menutup pintu pagar, padahal waktu saya masuk, pagarnya ditutup dan diselot, waktu saya buka selotnya, bunyinya cukup keras mas”, jawab saya.

“ya, tidak salah, kata orang-orang di sekitar sini, memang dia kadang-kadang muncul, tapi saya sampai hari ini belum pernah bertemu sama dia”, kata lelaki muda itu.

“maksudnya mas?”, tanya saya lagi. Lelaki muda itu menjawab “kata orang-orang di sekitar sini, dia itu makhluk halus yang tinggal di rumah ini, itu sih kata orang, kami sendiri yang tinggal di sini belum pernah bertemu”. Langsung merinding bulukuduk saya mendengar penjelasan lelaki muda itu, ada rasa takut menjalar di tubuh saya.

Dan rupanya ketakutan saya terlihat oleh lelaki muda itu. “ya gak usah takut mas, biasa saja. Ini uangnya”, kata lelaki itu sambil menyodorkan uang sepuluhribu rupiah kepada saya. “baik mas, makasih ya mas”, kata saya sambil bergegas meninggalkan rumah itu.
Setelah selesai sata letakkan mangkok di dalam gerobak, dengan penuh rasa ketakutan, sayapun langsung mendorong gerobak menjauhi rumah itu.

Demikianlah Untuk Artikel Yang Saya Buat Dalam Cerita Hantu Wanita memesan Bakso

BERIKUT INI DAFTAR JUDI ONLINE TERPERCAYA

BCA - BNI - MANDIRI - BRI - DANAMON - CIMB

IndoAce : 50.000
Daftar
 http://indoace.net/

Hokilotto : 15.000
Daftar
 www.hokilotto.net

Senin, 27 Februari 2017

Cerita Misteri Warung Setan

Cerita Misteri Warung Setan - Ceritanya waktu itu salah satu temen icha namanya deri (cewek) pas itu sakit rahang mulut. Deri minta ditemenin icha dan salah satu temen cowok, aan namanya, untuk ke daerah hegarmanah nyari tukang pijit yang bisa urut sakitnya itu, namanya pak puih. Sekitar jam 5sore mereka bertiga jalan kesana karena katanya ngga terlalu jauh. 

Cerita Misteri Warung Setan


Dalam Cerita Misteri Warung Setan


Karena belum tau tempatnya, ada warung pertama yang mereka temuin, tanyalah di warung itu yang ada beberapa orang lagi pada nongkrong di situ juga. “Pak mau nanya ke rumah pak puih arahnya kemana?” tanya icha, salah satu bapak nanya balik “kalian naik motor?” icha jawab “jalan kaki” terus bapak itu jawab “kalian jalan lurus, belok kiri jalan sampai mentok nah ada rumah ijo, rumahnya di sampingnya”.

Terus mereka bertiga jalan, sampai nemuin 2 persimpangan, hal aneh sedikit terjadi, entah apa yang buat mereka lupa akhirnya pada belok kanan, bukan kiri yang dikasih tau bapak warung itu. Jalanan sepi, pas agak lumayan masuk jalan itu, mereka denger gonggongan anjing, tapi ngga dihiraukan karena ngga tau ada di mana anjingnya. 

Nah akhirnya nemuin warung ke 2, niatnya mau nanyain rumah pak puih si tukang pijit itu, pertanyaan sama dan jawaban sama seperti warung pertama. Anehnya penjaga warung itu muncul tiba-tiba dari bawah meja dagangannya dan wajah orang itu datar, pas jalan ke arah yang ditunjukin sama penjaga warung ada sebuah jalan berlubang dan kanan jalan ada pohon bambu, setalah jalan agak menjauh dari warung itu, tiba-tiba ada motor dari belakang kasih klakson, ilang pas di tempat gelap, tapi mereka tetep jalanpun belum nemu juga rumah ijo itu.

Dari situ sampe warung ke 6 (kebetulan icha ngitung warungnya) jawaban tiap penjaga warung sama seperti warung pertama, kalo yang mukanya datar dimulai dari warung ke 2. Nah jawaban yang berbeda ada di warung ke 7. Kira-kira jawabannya gini “kalian lurus, nanti ada jalanan gelap, setelah itu keliatan lampu kuning sama atap gubuk, itu rumahnya”. Agak curiga, icha baca ayat qursi dalam hati sambil jalan, tapi anehnya baru separo, lupa. Gitu terus. Dan sebelum sampai ke jalan gelap itu, kali ini tiba tiba mobil udah ada di belakang mereka sambil kasih klakson juga, terus ilang ditelan jalan gelap. Mereka jalan udah selangkah di jalan gelap itu (kebetulan mereka jalan sejajar) pada merinding.

Dan makin merinding di saat bersamaan tiba-tiba ada suara bebek kira-kira 5 ekor, mereka berhenti nyari bebeknya tapi ngga ada, pas langkah ke 2 suara bebek itu makin banyak. Mereka takut karena gelap juga, akhirnya mereka balik lagi niatnya mau ambil motor. Pas lagi jalan balik, icha temen gue ini liat sosok anak kecil cewek membelakangi mereka jadi cuma liat rambutnya panjang pake dress putih lagi main sendiri tengah malem, dia ngasih unjuk ke aan & deri tapi ngga liat. 

Akhirnya mereka memutuskan untuk cerita keanehan pas sampai kost. Masing-masing cerita keanehannya, perjalanan pulang sampai 7,5 jam padahal deket, mereka merasa baru 1-2 jam aja sejak jalan jam 5 sore. Soalnya mereka sampai kost jam 00.30, terus jalanan setiap abis tanya warung, pasti ada jalan berlubang dan pohon bambu di kanan jalan. Terus si icha liat cewek anak kecil main sendiri tapi pada ngga liat. Suara anjing dan bebek yang ngga tau wujudnya ada di mana.

Keesokannya, icha nanya ke temen yang kost di hegarmanah tentang pohon bambu itu, temennya itu nanya ke ibu kostnya, katanya daerah itu ngga ada pohon bambu. Yang diceritain itu ternyata persawahan luas. Icha dan 2 temennya ada rasa penasaran pengen balik ke sana lagi. Tapi ngga boleh kesana sama abangnya deri, soalnya dia telpon abangnya yang agak ngerti ‘dunia lain’, setelah dia sembuh diurut sama tukang pijit lain. 

Dia ceritain ke abangnya kejadian malam itu, malah abangnya bilang kalau nerusin jalan gelap itu, mereka bakal ngga bisa pulang selamanya. Nah 15 hari setelah itu, aan sakit DBD yang ngga wajar, selama sebulan. Setelah aan sembuh, icha sakit lumpuh ngga bisa jalan 6bulan. Kayaknya suara anjing, bebek, klakson motor dan mobil itu pada ngingetin supaya mereka ngga terusin sepanjang jalan aneh itu.

Demikianlah Untuk Artikel Yang Saya Buat Pada Dalam Cerita Misteri Warung Setan

BERIKUT INI DAFTAR JUDI ONLINE TERPERCAYA

BCA - BNI - MANDIRI - BRI - DANAMON - CIMB

IndoAce : 50.000
Daftar

Hokilotto : 15.000
Daftar

Minggu, 26 Februari 2017

CERITA MISTERI HANTU HANTU DI MASYARAKAT ZAMAN DULU

MISTERI HANTU HANTU DI MASYARAKAT ZAMAN DULU

MISTERI HANTU HANTU DI MASYARAKAT ZAMAN DULU


Misteri Hantu Hantu Di Masyarakat Zaman Dulu - jurig, siluman atau pun setan mindah rupa! He he hal menarik yang selalu jadi pembicaraan dalam masalah masalah mistis atau dunia lain ! dan, terlebih lebih pada zaman di saat yang katanya zaman belum begitu semodern seperti zaman sekarang, di mana lampu penerangan atau listrik yang sekarang bisa kita nikmati belum ada dan masuk ke perkampungan perkampungan.

Cerita Misteri Hantu Hantu Di Masyarakat Zaman Dulu


Yang tentu saja sobat misteri , hal itu amat sangat mendukung pada hal hal yang berbau mistis, di tambah kepercayaan akan hal mistis tersebut terasa masih kental, dan zaman lalu itu pun menyimpan misteri misteri mistis yang entah benar atau tidak, tetapi apa pun itu biarlah menjadi warisan yang unik untuk kita di masa kini.
Penulis rasa , sobat mungkin sedikit banyak atau malah ada yang lebih tahu akan hal itu, tetapi kita mengulas ini sebagai kenangan masa lalu dan berbagi cerita saja , itu tak merugikan bukan ? Misteri hantu hantu di Masyarakat itu adalah:

- Jurig kuris atau hantu cacar ( Campak ) , hantu yang satu ini menurut orang tua dulu adalah hantu yang menyebabkan anak anak terserang penyakit panas dan cacar ! bisa juga ya?, lalu perwujudannya seperti apa ? katanya juga sih sobat ! hantu ini di saat memasuki waktu maghrib akan mengintai anank anak kecil, oleh sebab itu para orang tua dulu memasang azimat atau menunggui anak anaknya .

- Dan ada juga yang unik katanya ! orang tua dulu juga melakukan pengintaian terhadap si hantu kuris ini, lalu apa yang terjadi ? juga katanya, menurut orang tua dulu hantu ini adalah berbentuk kakek bongkok serta membawa lentera atau lampu, mengintai lewat celah bilik untuk menyerang sasarannya ! ih ngeri juga ya ,dan kok bisa kelihatan, ya dan orang tua dulu akan mengejarnya , tetapi sayang biasanya ia akan melesat dan menjadi bola api dan secepat kilat terbang dan menghilang ! , wah rame juga masa lalu itu ya sobat ?

- Leled samakatau si hantu air, hantu yang satu ini berada di dalam air dan biasanya menyerang dengan tak terasa dan ia di sinyalir beroprasi saat menjelang tengah hari ( Masa keluarnya waktu para hantu )cara menyerangnya pun amat halus, biasanya anakank yang bermain di sungai tak merasaan kehadirannya, mereka asyik bermain sementara si hantu leled samak ini akan mendekati mereka di dasar sungai, wah makhluk apa ya, bentuknya mirip tikar ( Samak dalam bahasa sunda ) dan ia akan menggulung kaki sieseorang yang berada di air dan membawanya ke dalam air, duh ngeri ngeri juga ya sobat tetapi tenanglah itu pada masa lalu.

- Kuya batok ( Hantu Kura kura ), yang ini mah sobat biasanya berada di sungai cimanuk, dan mereka biasanya akan muncul ke permukaan air serta diam hingga orang tak menyangka ia adalah si kuya batok tersebut, dan banyak yang elaka dan meninggal karenanya, karena mereka menyangka punggung si kuya batok ini adalah sebuah batu besar !.

- Dan juga sobat, si kuya batok ini besarnya bervariasi , tetapi yang lebih besar sangat berbahaya, dan biasanya orang yang terkena jebakan si kuya batok ini adalah orang yang kebelet buang hajat besar di saat di sungai cimanuk, ia akan menyangka si kuya ini batu serta buang hajat besar di punggung si kuya batok ini yang ia sangka batu, nah sementara orang tersebut dengan enak buang hajat besar maka si kuya batok akan bergerak membawa orang tersebut tenggelam ke dalam sungai yang berair dalam dan deras tersebut ! dan banyak kejadian seperti itu bahkan ada yang ampai mayat dari si korban sampai sekarang pun tak pernah di temukan!

Sobat itu dulu saja cerita tentag para hantu zaman dulu ini, ya nanti di sambung lagi,cerita adalah bagian dari seni masa lalu, ada pun jika itu merupakan sebuah fakta tak perlu di takuti tetapi untuk kita rnungi, bahwa ada banyak hal hal misterius, bukan saja di masa kini tetapi juga di masa lalu, salam penulis.

Demikian Untuk Artikel Yang Saya Buat Pada Cerita Misteri Hantu Hantu Di Masyarakat Zaman Dulu

BERIKUT INI DAFTAR JUDI ONLINE TERPERCAYA

BCA - BNI - MANDIRI - BRI - DANAMON - CIMB



IndoAce : 50.000
Daftar

Hokilotto : 15.000
Daftar

Sabtu, 25 Februari 2017

Cerita Misteri : Kisah Seram Di Dalam Kampus Taiwan (Ke 1)

Cerita Misteri : Kisah Seram Di Dalam Kampus Taiwan (Ke 1) - Kali ini Cerita Mistis membawakan lagi sebuah kisah nyata seorang mahasiswa yang pernah tinggal asrama Universitas Wenhua di Taiwan. Kisah ini dituturkan oleh sang pencerita secara kronologis jadi silahkan dibacakan bagian per bagian.

Bagi yang penasaran bagaimana bentuk gedung asrama Dalun, berikut merupakan fotonya.

Cerita Misteri Kisah Seram Di Dalam Kampus Taiwan (Ke 1)

Dalam Cerita Misteri Kisah Seram Di Dalam Kampus Taiwan (Ke 1)


Saya sendiri juga mantan anak Wenhua. Saya juga pernah tinggal di Asrama Dalun dan Asrama Dazhuang. Waktu semester pertama tinggal di Asrama Dalun, saya cukup berbaur dengan anak-anak asrama. Anak-anak pada memiliki hobi yang sama dengan saya, suka minum-minum satu dua gelas. Makanya kami cukup sering bertandang ke salah satu bar sekedar minum-minum.

Pada saat itu saya tinggal di lantai tiga. Ketua Lantai 3 juga sering ikut berkunjung di bar. (Aturan asrama jelas-jelas melarang bermain Mahjong ataupun minum minuman keras di asrama. Tetapi anak asrama Wenhua yang mana yang tidak pernah main Mahjong?)

Pada musim dingin biasanya udara akan sangat dingin di sini. Makanya anak-anak pada suka diam-diam memasak shabu-shabu di dalam asrama. Mati lampu juga adalah hal yang lumrah di sini (dan hal ini akan berkaitan dengan kisah yang akan saya ceritakan nantinya). Saya cukup dekat dengan Ketua Lantai, ditambah tiga anak asrama lainnya. Yang satu satu jurusan jurnalis (sekarang sudah kerja di TVBS), sering mengumpulkan berbagai informasi rahasia di kampus. Yang satu lagi adalah seorang teman yang pernah menjadi pendeta Tao sehingga punya pengalaman ritual Tao. Yang satu lagi anak jurusan botani dan suka berkunjung tempat-tempat angker. Makanya saya cukup beruntung bisa 
mendengar berbagai cerita…

Di sini saya akan menceritakan beberapa kisah…

Usia Asrama Dalun tergolong sangat tua, sehingga banyak sekali kisah angker yang ada di sini. Dari situ saja, saya sudah mendengar setidaknya lima cerita berbeda. Ada yang di kamar mandi, ada yang di depan gerbang, dan yang paling banyak adalah mengenai lantai 5.

Inti cerita mengenai lantai 5 itu adalah, ada seorang mahasiswa asal luar negeri yang diam-diam sembunyi di asrama pada saat tahun baru demi menghemat uang. (Biasanya pada saat tahun baru, asrama ditutup). Tapi dia tiba-tiba jatuh sakit, dan karena tidak ada seorangpun yang menyadarinya, maka tidak ada yang merawat dan membawanya ke dokter. Akhirnya dia meninggal di tempat tidur. Sampai cairan mayatnya mengalir keluar pintu kamar, baru disadari Paman Rongmin, sang petugas penjaga asrama. Semenjak itu, lantai lima sering kejadian ketindihan atau tengah malam ada orang yang mengetuk pintu meminta obat.

Kemudian ada satu kisah lain ada seorang cowok yang jatuh cinta dengan salah satu teman satu jurusan. Sayangnya sang gadis menyukai pria lain. Dikarenakan depresi, akhirnya dia gantung diri di lantai 5. Sebelum gantung diri, dia menggunakan sebuah meja sebagai penopangnya. Makanya terkadang di tengah malam sering terdengar suara meja yang digeser.

Kalau suara meja digeser di tengah malam sih saya pribadi pernah mendengarnya. Jadi, kebetulan ada satu teman yang tinggal di lantai 4. Sudah beberapa malam pada pukul 11 dia sering terdengar meja digeser di langit-langit. Suaranya jelas sekali. Setelah mendengar satu dua kali, dia akhirnya mengajak kami bergegas ke lantai atas untuk melihat siapa yang sedang usil. Tetapi sesampai di lantai 5 untuk mencari sumber suara, kami hanya melihat pintu yang digembok rantai dengan kokoh dan ditutupi debu yang tebal. Di atas rantai ada sebuah plang bertuliskan “Dilarang Masuk, Bagi Pelanggar Akan Dihukum”. Sukar dipercaya ada orang yang sengaja masuk ke dalam situ.

Kisah ini merupakan secuil kisah panjang sang penutur selama dia kuliah di Universitas Huawen.Sang tokoh utama memiliki seorang teman mantan pendeta Tao. Umumnya pendeta Tao mirip dengan pemuka agama lainnya. Tugas utama mereka adalah memimpin upacara keagamaan, memberi nasehat. Tidak jarang ada juga yang memberi ramalan dan mengusir roh jahat.

Kisah ini belumlah berakhir…

Demikian Untuk Artikel Yang Saya buat Dalam Cerita Misteri Kisah Seram Di Dalam Kampus Taiwan (Ke 1)


BERIKUT INI DAFTAR JUDI ONLINE TERPERCAYA

BCA - BNI - MANDIRI - BRI - DANAMON - CIMB

IndoAce
50.000

Hokilotto
15.000

Senin, 20 Februari 2017

Menjadi Saksi Tumbal Pesugihan

Cerita Misteri : Menjadi Saksi Tumbal Pesugihan - KKN atau Kuliah Kerja Nyata umumnya berlangsung selama 1-2 bulan di daerah pedesaan. Lokasi KKN saya berada di Cianjur, sekitar 3 – 4 jam perjalanan dari terminal Pasir Hayam, tapi saya tidak mau menyebutkan secara detail nama daerahnya.

Menjadi Saksi Tumbal Pesugihan

Dalam Cerita Menjadi Saksi Tumbal Pesugihan


Tim KKN saya terdiri dari 16 orang yang berasal dari 7 fakultas berbeda. Ada fakultas ekonomi, komunikasi, hukum, sosial politik, pertanian, peternakan dan psikologi. Masing-masing fakultas diwakili 2 orang, kecuali pertanian dan peternakan yang mengirim 3 mahasiswa.
Setiba di lokasi, tempat tinggal tim dibagi dua. Tujuh anggota cewek menempati rumah lama milik Sekdes. Rumah ini bukanlah bangunan yang lama tidak dihuni. Sekdes pindah ke rumah barunya sekitar 1 minggu sebelum kedatangan kami.

Rumah ini menjadi base camp resmi, atau biasa kami sebut dengan Sekretariat. Anggota tim KKN sisanya menempati rumah yang cukup besar di dekat perbatasan desa dengan hutan. Rumah ini kami jadikan base camp tidak resmi karena lokasinya yang agak terpencil sehingga tidak khawatir mengganggu tetangga karena suara obrolan kami. Jarak terdekat tetangga dari base camp ini sekitar 100 meter.

Suatu malam, kami sedang berkumpul di basecamp. Tidak semua anggota tim KKN karena ada yang sedang belanja barang kebutuhan ke Cianjur, ada juga yang sedang ijin kembali ke Bandung. Sebelas orang yang tersisa malam itu, termasuk saya, sibuk membicarakan progres program-program yang sudah kami buat.

Tiba-tiba hujan turun sangat deras diikuti oleh petir dan angin. Kami yang sedang duduk di teras langsung pindah ke dalam rumah karena air hujan masuk akibat hembusan angin yang sangat kencang. Di ruang tengah, pembicaraan soal program pun kami lanjutkan.

Salah satu teman pamit buang air kecil sekaligus menawarkan diri membuatkan kopi. Tawaran yang langsung diterima dengan baik.

Sekitar 5 menit kemudian, teman tadi kembali tanpa membawa kopi.

“Mana kopinya? Katanya mau bikinin kopi?” Tanya Fitri, teman saya satu fakultas.

“Tunggu airnya mendidih. Eh, kalian tadi denger suara orang jerit nggak?” Miftah mengalihkan bahan pembicaraan.

Kami saling berpandangan. Bingung. Kemudian serempak menggelengkan kepala.

“Tadi pas lagi di kamar mandi, aku kayak denger suara orang njerit. Kayaknya suara perempuan. Atau nggak, suara anak-anak.”

Kami bersepuluh sama sekali tidak mendengar suara lain kecuali riuhnya bunyi hujan menimpa atap rumah.
Miftah kembali ke dapur tanpa bilang apa-apa lagi. Tidak lama kemudian, dia datang lagi sambil membawa nampan berisi kopi.

Menjelang tengah malam, hujan masih turun cukup deras namun tidak lagi dibarengi petir dan angin. Cuaca tidak memungkinkan saya dan teman-teman pulang ke Sekretariat, ditambah lagi kondisi jalanan yang gelap dan becek. Malam itu, kami putuskan untuk tidur di base camp. Toh, teman kami yang sedang ke Cianjur sudah mengabari mereka tidak bisa kembali karena hujan deras.

Saya dan teman-teman perempuan menempati kamar tengah, kamar yang paling besar. Kami berempat langsung pelor, nempel (bantal) molor (tidur).

Tok. Tok. Tok…

Sayup-sayup, saya mendengar bunyi ketukan halus.

Tok. Tok. Tok…

Apa saya lagi mimpi?

Tok. Tok. Tok…

Saya berusaha bangun dan mengaktifkan indera pendengaran, mencari sumber bunyi. Jendela? Pintu kamar? Atau… bunyi tetesan air sisa hujan?

Terdengar suara berderit pelan. Seseorang membuka pintu.

Jantung saya berdegub sangat kencang. Rasa kantuk mendadak hilang. Kondisi kamar yang remang menyulitkan saya melihat siapa yang membuka pintu. Selarik cahaya lampu dari ruang tengah masuk dari balik pintu.

Aah, ternyata Fitri yang membuka pintu kamar. Saya pun lega.

Fitri berbicara dengan seseorang dalam nada rendah. Saya tidak bisa melihat siapa lawan bicaranya karena terhalang daun pintu. Fitri kemudian mengalihkan pandangannya ke arah saya.

“Kenapa, Fit?” Saya bertanya.

“Elu belum tidur, Ty?” Fitri balik bertanya.

“Tadi sih udah, tapi kebangun lagi. Ada apa? Siapa itu?”

Dari balik pintu muncul wajah Reza. “Ty, elo bisa keluar sebentar? Urgent.”

Saya keluar kamar bersama Fitri. Di ruang tengah tempat kami berdiskusi tadi sudah berkumpul teman-teman cowok lainnya. Lengkap. Ada apa ini?

“Ty, Fit, elu inget tadi Miftah tanya soal orang njerit?” Reza membuka percakapan.

Kami berdua mengangguk mengiyakan.

“Tadi kita denger lagi. Kita semua, bukan cuma Miftah.” Reza melanjutkan.

Saya dan Fitri cuma diam.

“Kayaknya, asalnya dari rumah yang di ujung kebun itu.” Miftah menambahkan.

Aku ingat rumah kecil di ujung kebun belakang. Rumah itu ditinggali oleh seorang ibu muda bersama mertua perempuannya. Kami biasa memanggilnya Teh Siti dan Mak Unyeh. Belum lama ini Teh Siti melahirkan anak pertamanya, seorang putri yang cantik. Kami sempat menjenguknya sekitar seminggu yang lalu sambil membawakan barang-barang kebutuhan bayi. Saat kami datang, kami tidak melihat suami atau bapak mertuanya. Kabar yang beredar, suami dan bapak mertuanya pergi merantau ke kota Jakarta.

“Aku sama Miftah mau ngelihat ke situ. Takutnya ada apa-apa.” Kata Reza.

Saya paham alasan Reza mengajak Miftah. Selain berbadan paling kekar, Miftah juga menguasai ilmu bela diri.

Dengan berbekal dua senter beam besar dan radio komunikasi portable, Reza dan Miftah keluar dari pintu belakang. Hawa dingin yang menusuk menyeruak masuk saat pintu terbuka.

Di ruang tengah, kami menunggu kabar dengan cemas. Sementara di luar, hujan sudah berhenti. Keadaan sangat senyap. Sama sekali tidak terdengar bunyi kodok yang biasanya bersuka ria setelah hujan. Begitu pula serangga dan burung malam, tidak ada satu pun yang bersuara. Saya ingat paman saya (dia seorang pecinta alam sejati) pernah bilang, alam yang terlalu sunyi bukanlah pertanda baik.

Sudah lebih dari 15 menit belum juga ada kabar dari Reza dan Miftah. Takut terjadi apa-apa dengan mereka berdua, Indra mencoba memanggil lewat radio komunikasi.

“Za… Miftah…”

Tidak ada jawaban.

“Reza…. Miftah…” Panggil Indra lagi.

Masih belum ada jawaban.

“Reza… Miftah… Kalian baik-baik aja? Kalian di mana? Ganti!” Indra menaikkan volume suaranya.
Sedetik kemudian terdengar suara radio bergemersik.

“Roger, ini Reza. Ini siapa? Ganti.”

“Gue, Indra. Gimana, Za? Ganti.”

Kembali tidak ada jawaban.

“Za…!” Panggil Indra.

“Roger, Ndra. Sebentar gue balik dulu ke rumah. Nanti gue ceritain. Over and out.” Reza memutus komunikasi.

Sepuluh menit kemudian Reza dan Miftah sampai base camp. Dari wajah mereka berdua, kami tahu sesuatu yang buruk telah terjadi.

Sesampainya di ruang tengah, Reza langsung mendatangi peranti radio yang tadi digunakan Indra, sementara Miftah bergabung dengan kami tanpa bilang apa-apa. Reza kemudian mencari frekuensi radio yang biasa dipakai perangkat desa.

Saya melirik jam di tangan kanan. Sudah hampir jam 2 dini hari. Apa masih ada yang bangun?

Tiba di frekuensi yang dicari, terdengar suara-suara orang ramai bicara. Rupanya hujan deras dan angin kencang semalam sudah membuat beberapa pohon tumbang. Bahkan, ada satu yang menimpa bangunan sekolah dasar.

Reza memanggil Pak Kades melalui radio komunikasi.

“Muhun, Jang. Aya naon? Bapak keur mariksa tangkal nu ngarubuhan gedung sakolah.” Jawab Pak Kades. (Iya, Nak. Ada apa? Bapak lagi meriksa pohon yang menimpa gedung sekolah.)

“Ieu, Pak. Abdi aya kaperyogi ka Bapak. Penting pisan. Ganti.” Kata Reza. (Begini, Pak. Saya ada keperluan dengan Bapak. Penting banget.)

Reza berusaha bicara setenang mungkin, namun tetap tidak bisa menyembunyikan kegelisahan yang dirasakannya. Atau… rasa takut? Setidaknya itu yang saya rasakan.

Reza meminta Pak Kades datang ke base camp saat itu juga. Jika memungkinkan, Pak Kades juga mengajak seorang pemuka agama dan tenaga kesehatan. Pak Kades menyanggupi setelah mendengar penjelasan singkat Reza.

Sambil menunggu kedatangan Pak Kades, Reza menceritakan apa yang dialaminya bersama Miftah….

Sesampainya di rumah teh Siti, kondisi rumah sangat gelap. Tidak ada satu pun penerangan yang terlihat menyala. Situasi sekeliling rumah pun sama. Gelap dan sangat sunyi. Saya memanggil-manggil Teh Siti.

“Teh Siti… Teh Siti… Ieu abdi, Reza, budak KKN.” (Teh Siti… Teh Siti… Ini saya, Reza, anak KKN).

Tidak ada jawaban.

Saya mengulangi panggilan dibantu Miftah. Masih tidak ada jawaban.

Kami mengetuk pintu depan rumah sambil terus memanggil-manggil Teh Siti dan ibu mertuanya, Mak Unyeh. Tetap tidak ada jawaban. Ada yang tidak beres, bisik hati kecil saya.

Miftah menggamit saya, mengajak untuk memeriksa kondisi sekeliling rumah. Saya langsung menyetujui. Kami beranjak dari teras menuju ke samping rumah.

Kami menyorotkan senter ke sekeliling untuk memastikan kondisi aman. Di samping rumah, kami melihat satu jendela yang daunnya sedikit terbuka. Seberkas cahaya redup kekuningan berpendar dari celah-celah kayu daun jendela.

Miftah mengetuk daun jendela seraya memanggil Teh Siti dan Mak Unyeh.

“Mak Unyeh… Teh Siti… Ieu Miftah, jeung Reza. Teteh teu naon-naon?”

Senyap. Sunyi. Terlalu sunyi malah. Bahkan suara dengkuran halus khas orang tidur pun tidak terdengar.

“Mak Unyeh… Teh Siti… Ieu abdi, Reza. Abdi jeung Miftah. Teteh teu naon-naon?”

Gantian saya yang memanggil. Masih tidak ada jawaban apa-apa.

Ratusan perasaan menyelinap masuk ke hati saya dan Miftah. Berbagai skenario terburuk hinggap di otak kami. Sesudah mengumpulkan keberanian, kami membuka jendela lebih lebar dan melihat ke dalam kamar.

Ruangan yang hanya diterangi lampu minyak tempel menyulitkan kami melihat dengan jelas. Terpaksa kami menggunakan senter yang dibawa.

Firasat terburuk kami menjadi kenyataan tapi tetap saja kami tidak siap dengan apa yang kami lihat.
Mak Unyeh berbaring dengan mata terbelalak dan mulut terbuka lebar. Di samping kirinya, si bayi mungil juga berbaring tidak bergerak. Di sebelah bayi, terbujur ibunya, Teh Siti. Kondisi Teh Siti sama persis dengan Mak Unyeh.

Saking kagetnya, hampir saja senter yang saya pegang terlepas. Belum hilang kaget melihat kondisi Mak Unyeh sekeluarga, radio di tangan kiri berbunyi. Terdengar suara Indra memanggil.

“Za… Miftah…”

Selama Reza bercerita Miftah hanya diam. Wajahnya masih sedikit terlihat pucat akibat shock. Kami juga terdiam. Sulit bagi kami membayangkan apa yang sudah pada keluarga Mak Unyeh. Kami juga tidak bisa membayangkan perasaan Reza dan Miftah yang pertama kali melihat kondisi mereka.

Sekitar pukul setengah tiga subuh, terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Dari ruang tengah, kami melihat Pak Kades turun dari mobil diikuti oleh 4 orang lainnya. Rupanya Pak Kades mengajak Mantri Puskesmas, Pak Kyai dan 2 orang hansip.

“Assalamualaikum,” salam Pak Kades.

“Wa alaikum salam.” Kami menjawab nyaris serempak.

Pak Kades, Pak Mantri dan Pak Kyai bergabung dengan kami di ruang tengah, sementara 2 orang hansip memilih duduk di teras.

Reza mengulangi lagi ceritanya. Kali ini, Miftah ikut bicara, melengkapi bagian-bagian yang terlewatkan. Rupanya dia sudah lebih tenang. Sementara itu, Pak Kades dengan seksama menyimak cerita Reza dan Miftah sambil sesekali mencatat. Pak Kyai dan Pak Mantri pun demikian. Mereka sama sekali tidak menyela pembicaraan.

Selesai Reza dan Miftah bercerita, Pak Kades mengajak untuk memeriksa kondisi Mak Unyeh sekeluarga. Hanya 7 orang yang berangkat ke rumah Mak Unyeh, termasuk 2 orang hansip.

Kami yang tidak ikut ke rumah Mak Unyeh tidak bisa lagi melanjutkan tidur. Rasa penasaran sekaligus takut sudah menggantikan rasa kantuk. Kami semua berkumpul di ruang tengah, termasuk dua teman yang tadi tidur di kamar bersama saya dan Fitri. Tidak ada satu pun yang mau melewatkan kejadian penting dini hari ini. Namun tidak ada yang sanggup membicarakannya. Kami cuma diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tiga puluh menit berlalu, rasanya seperti sudah ribuan jam kami menunggu. Lamat-lamat kami mendengar bunyi langkah kaki dan suara orang bicara. Suara semakin jelas dan pintu depan terbuka. Reza yang pertama masuk diikuti Pak Kades, Pak Kyai, dan Miftah. Tidak lama, terdengar suara mobil dinyalakan dan pergi meninggalkan halaman base camp.

Dari wajah-wajah mereka semakin jelas bahwa sesuatu yang sangat luar biasa sudah terjadi. Melalui radio komunikasi, Pak Kades memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan masjid dan menggali 2 lubang di pemakaman desa. Pak Kyai berulang kali terdengar mengucapkan kalimat istighfar secara lirih. Matanya menerawang ke langit-langit rumah. Selesai memberi instruksi, Pak Kades mengajak Pak Kyai pindah ke teras.

Reza berbisik di telinga saya, minta tolong dibuatkan kopi untuk Pak Kades dan Pak Kyai. Saya mengajak Hanny menemani ke dapur. Selesai membuat kopi untuk dan mengantarkan ke teras, kami dikumpulkan di ruang tengah. Reza mengupdate kami peristiwa di rumah Mak Unyeh.

Setelah memastikan situasi rumah aman, kami berempat masuk ke dalam rumah. Miftah dan kedua hansip berjaga-jaga di luar.

Pak Mantri langsung memeriksa kondisi Mak Unyeh, Teh Siti dan bayi mungil yang belum sempat diberi nama. Ketiganya dipastikan sudah meninggal dunia. Di sekeliling jenazah tidak ditemukan genangan darah, obat serangga, atau barang-barang yang bisa menyebabkan kematian. Namun, di lengan kanan Mak Unyeh ditemukan 2 titik kecil berwarna merah yang mencurigakan. Titik kecil yang sama ditemukan di betis kiri Teh Siti. Pada si bayi, ditemukan pada paha kanannya. Dua titik kecil ini mirip dengan bekas patukan ular.

Pak Kyai kemudian meminta kami membaca Al Fatihah demi ketenangan almarhumah. Beliau lalu menutup mata dan mulut Mak Unyeh dan Teh Siti.

Pak Kyai meminta jenazah dimakamkan secepat mungkin karena ada yang tidak wajar pada kematian ketiganya. Pak Kades agak keberatan. Menurut Pak Kades, lebih baik menunggu suami-suami mereka datang dari kota.

“Mereka tidak akan datang,” tegas Pak Kyai.

Kami kaget mendengar ucapan Pak Kyai.

“Semoga saya salah. Tapi Insya Allah, firasat saya bilang mereka tidak akan datang,” lanjut Pak Kyai.

“Kematian Mak Unyeh, Siti dan anaknya sepertinya disebabkan oleh sesuatu yang tidak biasa. Bapak bisa lihat, mata dan mulut Mak Unyeh dan Siti terbuka lebar. Mereka seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan sesaat sebelum kematian. Ditambah lagi ada 2 titik kecil yang mencurigakan. Lagi pula kalau harus menunggu suami mereka pulang, kasihan arwah Mak Unyeh, Siti dan anaknya,” tambah Pak Kyai.
Mendengar penjelasan Pak Kyai, Pak Kades pun menyetujui pemakaman dilaksanakan secepat mungkin.

***
Pemakaman Teh Siti, bayinya, serta Mak Unyeh dilakukan dini hari itu juga, dipimpin langsung oleh Pak Kyai. Ada sekitar 20-an orang yang menghadiri pemakaman, termasuk saya dan 5 anggota tim KKN lainnya.
Usai prosesi pemakaman, rombongan pengantar bersiap-siap untuk pulang. Dengan hati-hati kami berjalan di antara nisan. Kami juga harus menghindari genangan lumpur di sana sini akibat hujan lebat semalam.
Tiba-tiba terdengar suara mirip ledakan yang cukup keras dari tengah komplek makam. Semua orang terkejut sekaligus ketakutan, khawatir ada ledakan susulan. Satu-satunya orang yang tetap tenang hanya Pak Kyai. Beliau berdiri tegap. Wajahnya menghadap ke arah 2 makam yang baru saja selesai ditutup.

Jemarinya terus bergerak meniti butiran tasbih di tangan kanan.

Mendadak muncul asap tipis (awalnya saya mengira itu adalah kabut yang terkena sinar lampu senter) dari 2 makam yang baru saja kami tinggalkan. Asap itu kemudian bergerak ke arah pintu masuk komplek pemakaman. Aneh, karena saat itu sama sekali tidak ada angin. Asap tersebut bergerak seperti seekor ular yang sedang melata. Mata kami mengikuti terus kemana arah asap bergerak. Sayang, pekatnya malam seolah menelan asap dan kami kehilangan jejak.

Pak Kyai memanggil kami berkumpul kembali. Beliau meminta makam digali lagi.

Selapis demi selapis tanah digali. Perlahan, kayu padung penutup liang lahat mulai muncul. Setelah semua kayu padung telihat, Pak Kyai meloncat masuk ke dalam lubang makam dan berdoa. Beliau lalu mengangkat 2 lembar kayu padung di bagian paling atas dan meletakannya di sisi kanan. Pak Kyai kembali menengadahkan tangan, memohon perlindungan Allah SWT. Usai berdoa, beliau berlutut dan membungkuk, mendekati jenazah Mak Unyeh. Perlahan, kain kafan mulai dibuka.

“Masya Allah…! Astaghfirullahal ‘adzim…!” Semua yang hadir berteriak kaget.

Dari balik kain kafan muncul batang pisang. Ya, betul batang pisang.

Pak Kyai merapikan kembali kain kafan Mak Unyeh, lalu pindah ke makam Teh Siti. Prosesi yang sama diulangi sekali lagi. Hasilnya pun sama. Alih-alih wajah Teh Siti, kami kembali melihat batang pisang dari balik kain kafan.

Pak Kyai memerintahkan makam kembali ditutup. Sambil memandangi butiran tanah mengisi lubang makam Mak Unyeh dan Teh Siti, saya membacakan Al Fatihah dan Al Ikhlas untuk mereka bertiga. Semoga arwah mendapat ketenangan dalam istirahat abadinya.

Para penggali kubur masih menimbun makam dengan tanah ketika samar-samar telinga saya menangkap suara derap langkah kuda. Saya menatap Reza dengan pandangan bertanya, apakah dia juga mendengar yang saya dengar. Reza mengangguk kecil. Dia juga mendengar. Seseorang mendadak berteriak seraya menunjuk ke pintu masuk komplek pemakaman. “Eeee.. ta… Eta nnaaooon?!”

Kami sontak memandang arah yang ditunjuk. Dari tengah keremangan dini hari, muncul bayangan 2 ekor kuda. Di punggung kuda, masing-masing 2 orang… Satu orang penunggang dan satu orang yang duduk di belakang penunggang. Tunggu… Di kuda yang terakhir, penumpangnya terlihat seperti menggendong bayi dalam pelukannya. Kedua kuda tersebut langsung melesat, seolah terbang, dan menghilang dari pandangan kami.

Pak Kyai mengumpulkan kami dan berpesan agar apa yang kami alami dan lihat barusan bisa menjadi pelajaran. Beliau juga berpesan jangan menambah-nambahi kejadian malam ini dengan bumbu-bumbu cerita yang tidak perlu. Namun, jauh lebih baik lagi jika tidak membicarakannya. Kasihan para almarhumah, tidak perlu lagi menambah penderitaan mereka.

***

Kejadian itu sangat membekas di benak kami, bahkan setelah bertahun-tahun kemudian. Ketika reuni untuk pertama kalinya, sekitar 5 tahun sesudah kelulusan, hal pertama yang kami kenang adalah tragedi keluarga Mak Unyeh.

Beredar kabar bahwa Mak Unyeh, Siti dan sang bayi menjadi tumbal pesugihan yang dilakukan oleh suami-suami mereka. Pesugihan apa namanya, kami tidak tahu, dan tidak tertarik ingin tahu. Hanya saja, sampai acara tahlilan 7, 40 dan 100 hari, baik suami Teh Siti maupun suami Mak Unyeh, tidak pernah datang. Bahkan, mereka tidak pernah lagi muncul di desa tersebut.

Demikianlah Untuk Artikel Yang Saya Buat Pada Dalam Cerita  Menjadi Saksi Tumbal Pesugihan


BERIKUT INI DAFTAR JUDI ONLINE TERPERCAYA

BCA - BNI - MANDIRI - BRI - DANAMON - CIMB

IndoAce
50.000

Hokilotto
15.000

Cerita Siluman Kuchisake onna

Cerita Siluman Kuchisake onna - Kuchisake-onna ataupun wanita bermulut robek adalah dalam sejenis siluman yang mitologi dan juga legenda ur...